CONTOH
KASUS HAKEKAT MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
I.Konser Kolosal Angklung Digelar di Beijing
Jumat, 22 Maret 2013
Angklung sebagai alat musik tradisional Jawa Barat
memiliki daya tarik bagi para wisatawan asing untuk belajar memainkannya
seperti terlihat di Saung Angklung Udjo, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat
(9/10/2009).
|
BEIJING, KOMPAS.com--Perhimpunan Persahabatan
Indonesia-Tiongkok (PPIT) akan menggelar konser kolosal 10 ribu angklung di
Beijing, akhir Mei 2013.
Ketua Umum
Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT), Bondan Gunawan di Beijing,
Kamis, mengatakan konser kolosal 10 ribu angklung ini merupakan salah satu
bentuk diplomasi budaya untuk mempererat hubungan antarmasyarakat Indonesia dan
China.
"Diplomasi
itu aspeknya banyak, ada antarpemerintah, antarpelaku bisnis, dan
antarmasyarakat. Diplomasi antarmasyarakat terdiri atas bidang budaya, olahraga
dan ilmu pengetahuan. Konser kolosal angklung ini merupakan bentuk diplomasi
budaya," katanya menjelaskan.
Bondan
mengatakan gagasan untuk menggelar konser kolosal 10 ribu angklung telah
dimulai sejak satu hingga dua tahun lalu.
"Konser
akan digelar di lapangan terbuka, dan dimainkan oleh 10 ribu orang yang
sebagian besar adalah pelajar, mahasiswa serta warga masyarakat China,"
ungkap Bondan.
Namun, ada
pula yang berasal dari masyarakat keturunan Tionghoa dari Kalimantan, Surabaya
sekitar 500 orang yang akan bergabung dalam konser kolosal 10 ribu angklung
tersebut, lanjutnya.
Konser
kolosal 10 ribu angklung juga akan dicatatkan pada Guiness Book of Records.
"Sebelumnya telah ada konser kolosal 5.000 angklung yang digelar
perwakilan Indonesia di Amerika Serikat pada 2011," kata Bondan.
Direktur
Saung Angklung Udjo Taufik Hidayat mengatakan konser kolosal 10 ribu angklung
ini merupakan bentuk pelestarian alat musik bambu khas Indonesia yang telah
tercatat sebagai salah satu warisan budaya dunia "The Intangible
Heritages" UNESCO.
"Syarat
untuk dapat bertahan tercatat sebagai warisan budaya UNESCO adalah warisan
budaya dimaksud harus terpelihara, terlindungi, terpromosikan dan
tergenerasikan. Jika upaya itu tidak dapat kita lakukan terus menerus, angklung
bisa dicabut statusnya sebagai warisan budaya dunia. Maka itu, kita terus
berupaya agar angklung tetap terpelihara, terlindungi, terpromosikan dan
tergenerasikan ," katanya.
Dalam konser
kolosal angklung di Beijing Mei mendatang selain mengerahkan 10 ribu angklung,
Saung Angklung Udjo juga mengirimkan 40 orang untuk ikut terlibat.
"Selama
konser kolosal angklung itu, akan dilantunkan enam hingga tujuh lagu baik lagu
Indonesia maupun China, yang akrab di telinga masyarakat masing-masing kedua
negara, seperti `Ayo Mama` dari Indonesia atau `Yue Liang Dai Biao Wo De Xin`
lagu dari China," katanya.
Taufik
menambahkan, "Kami juga akan membawakan lagu yang agak sulit seperti lagu
dari Queen. Kami ingin menunjukkan bahwa alat musik angklung mampu memainkan
aransemen musik yang agak rumit,".
TANGGAPAN :
Dari contoh kasus diatas dapat dilihat bahwa
kebudayaan Indonesia telah mampu mendunia. Ini membuktikan bahwa budaya
Indonesia yang beragam tidak boleh dipandang sebelah mata dan budaya Indonesia
juga mampu tampil di pentas dunia, supaya masyarakat dunia tahu kebudayaan
Indonesia yang beragam.
Kita patut berbangga akan ini. Apalagi yang bermain
alat musik angklung di konser kolosal angklung yang digelar di Beijing, China
tersebut kebanyakan adalah warga China sendiri. Seperti juga yang terlihat pada
gambar diatas tampak wisatawan asing pun terlihat antusias memainkan alat musik
tradisional ini. Ini membuktikan bahwa alat musik ini memiliki daya tarik
tersendiri bagi para warga negara asing untuk memainkannya.
Konser kolosal 10 ribu angklung ini merupakan bentuk
pelestarian alat musik bambu khas Indonesia yang telah tercatat sebagai salah
satu warisan budaya dunia "The Intangible Heritages" UNESCO. Karena
seperti yang dikatakan oleh Direktur Saung Angklung Udjo Taufik Hidayat bahwa
"Syarat untuk dapat bertahan tercatat sebagai warisan budaya UNESCO adalah
warisan budaya dimaksud harus terpelihara, terlindungi, terpromosikan dan
tergenerasikan. Jika upaya itu tidak dapat kita lakukan terus menerus, angklung
bisa dicabut statusnya sebagai warisan budaya dunia. "
Maka dari itu, kita sebagai bangsa Indonesia yang
memiliki kekayaan budaya ini harus terus
berupaya agar budaya Indonesia termasuk angklung tetap terpelihara,
terlindungi, terpromosikan dan tergenerasikan.
Bentuk-bentuk
budaya tersebut akan menjadi saksi sejarah bagi manusia sekarang dan bahkan
menjadi pusat perhatian dunia sebagai bangsa yang cukup maju peradabannya di
masa lalu.Keanekaragaman kebudayaan daerah dari berbagai etnis di tanah air,
akan terus dikibarkan untuk mendukung bagi pelestarian budaya nasional tanah
air.
Tapi semua itu tidak akan menjadi kenyataan ke depannya, jika generasi selanjutnya atau generasi penerus bangsa ini tidak memiliki rasa kecintaan terhadap budaya atau minimal mengerti terhadap kebudayaan apa yang kita miliki, agara nantinya mereka tahu apa yang harus dilakukan agar budaya Indonesia tetap terjaga kelestariannya. Pernyataan yang mendasari dari masalah di atas mampukah budaya kita untuk bertahan melawan banyaknya budaya asing yang masuk? gempuran budaya modern alias budaya asing lebih banyak mengandung unsur-unsur negatif bagi pertumbuhan nasional bangsa Indonesia dibandingkan dengan unsure-unsur positifnya.Apalagi terhadap posisi bangsa Indonesia yang masih dalam masa perkembangan, dan masih gencar-gencarnya membangun.Lebih buruknya lagi unsur-unsur tersebut lebih menagarah ke arah generasi penerus bangsa ini.
Tapi semua itu tidak akan menjadi kenyataan ke depannya, jika generasi selanjutnya atau generasi penerus bangsa ini tidak memiliki rasa kecintaan terhadap budaya atau minimal mengerti terhadap kebudayaan apa yang kita miliki, agara nantinya mereka tahu apa yang harus dilakukan agar budaya Indonesia tetap terjaga kelestariannya. Pernyataan yang mendasari dari masalah di atas mampukah budaya kita untuk bertahan melawan banyaknya budaya asing yang masuk? gempuran budaya modern alias budaya asing lebih banyak mengandung unsur-unsur negatif bagi pertumbuhan nasional bangsa Indonesia dibandingkan dengan unsure-unsur positifnya.Apalagi terhadap posisi bangsa Indonesia yang masih dalam masa perkembangan, dan masih gencar-gencarnya membangun.Lebih buruknya lagi unsur-unsur tersebut lebih menagarah ke arah generasi penerus bangsa ini.
II. Logat Bahasa
Disini
saya akan membahas satu contoh kasus tentang kebudayaan yang sudah ditinggalkan
oleh manusia karena menurut mereka jika mengikuti kebudayaan dianggap
norak/kampungan. Kasus ini mengenai logat(gaya bahasa) yang berasal dari Jawa
Tengah yang sulit untuk dirubah dan telah menjadi kebudayaan masyarakat,
umumnya Jawa Tengah.
Sebagai orang Jawa Tengah terutama yang bertempat
tinggal di Tegal, Jawa Tengah. Bahasa yang digunakan dalam keseharian kita
sebut saja bahasa ngapak. Mungkin sebagian orang ada yang belum tahu apa bahasa
ngapak? Atau pernah mendengar tetapi belum memahaminya.
Bahasa ngapak adalah salah satu bahasa daerah di Jawa
Tengah, namun tidak semua wilayah Jawa Tengah menggunakan bahasa ini. Bahasa
ngapak lebih ke daerah Jawa Tengah yang mendekati Jawa Barat. Sama seperti
bahasa jawa pada umumnya yang paling membedakan adalah penempatan huruf “O” menjadi
“A” dan dengan nada yang sedikit keras serta intonasi yang lebih cepat.
Contoh:
“Ono opo to?” menjadi “Ana apa ya?”,
“Piye to?” menjadi “Kepriwe ya?”
“Ono opo to?” menjadi “Ana apa ya?”,
“Piye to?” menjadi “Kepriwe ya?”
Dan masih sangat banyak lagi contoh-contoh yang lain
dan tentunya bukan pada penempatan huruf “O” menjadi “A” saja.
Meskipun sering diejek karena gaya bahasa yang
digunakan cenderung kasar dan intonasi bicaranya lebih cepat seperti orang yang
marah, saya kira bahasa ngapak bukanlah hal yang memalukan. Malah menurut saya
kita harus bangga mempunyai beragam bahasa salah satunya bahasa ngapak. Belum
tentu Negara lain mempunyai bahasa sebanyak bangsa Indonesia. Memang sering
kita jumpai jika ada orang yang menggunakan bahasa ngapak pasti ditertawakan.
mengapa demikian?apakah kita sudah tidak peduli dengan kebudayaan kita
sendiri?apakah kita lebih memilih kebudayaan dari luar(kebarat baratan).
Jawabannya ada dalam diri kita sendiri.
Sudah sepantasnya kita melestarikan budaya kita
sendiri, Bahkan masih banyak kosakata bahasa daerah yang tidak dimengerti oleh
masyarakat daerah itu sendiri dan tidak sepantasnya kita sebagai orang yang
mengaku berpendidikan mengolok-olok bahasa daerah orang lain dan
merendahkannya. Bukankah sudah banyak contoh kasus bahwa budaya asli Indonesia
yang diakui negara lain? Saya harap hal seperti ini tidak akan terulang
kembali. Mari kita lestarikan budaya yang ada.
Apakah faktor-faktor yang menyebabkan hal seperti ini
terjadi. Berikut faktor-faktornya:
1. KURANGNYA REGENERASI
Jarang sekali generasi muda yang mau mempelajari
budaya sendiri sehingga dikhawatirkan bila tidak diadakan regenerasi maka
kedepannya generasi muda tidak mengenal lagi kebudayaan bangsa sendiri
2. KURANGNYA RASA MEMILIKI
Masih ingat peristiwa Malaysia yang ingin mematenkan
budaya bangsa ini misalnya reog, tari tor - tor, batik, dll? Bagaimana reaksi
kita saat itu? marah, emosi, geram, kesal? mengapa perasaan seperti ini baru
muncul setelah negara tetangga ingin mengklaim budaya yang selama ini menjadi
milik kita. Itu semua terjadi karena kurangnya rasa memiliki didalam diri kita
masin-masing sehingga kita cenderung menyepelekan budaya yang telah kita miliki
3. KURANGNYA PENGHARGAAN DARI PEMERINTAH
Harus diakui bahwa pemerintah kita kurang
memperhatikan budaya Indonesia. Para pelaku serta pemerhati dunia budaya masih
kurang mendapatkan apresiasi dari pemerintah sehingga dapat dikatakan bahwa
budaya masih menjadi prioritas kesekian dari jumlah daftar prioritas bagi
pemerintah. Ini terlihat dari minimnya anggaran yang disediakan pemerintah
untuk program - program budaya di Indonesia
4. KONSEP PELESTARIAN BUDAYA YANG KURANG TEPAT
Melestarikan budaya tidak berarti hanya melakukan
sesuatu demi tetap adanya sebuah budaya tersebut, tetapi lebih dari itu.
Pelestarian budaya sangat berhubungan dengan regenerasi dan sikap memiliki.
Karena tanpa kedua hal tersebut, mustahil pelestarian budaya bisa dilakukan
secara maksimal
5. MASYARAKAT YANG TERLALU MUDAH MENYERAP BUDAYA LUAR
Dapat dikatakan generasi muda sekarang lebih menyukai
film box office bila dibanding dengan menonton wayang semalam suntuk. Remaja
sekarang lebih senang mengenakan baju model Korea, mengikuti fashion dan trend
yang sedang berkembang. Misalnya saja dari segi bahasa “cius” “miapa”. Hal itu
sama saja mengubah bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Ini terjadi karena
masih adanya anggapan ingin dibilang keren,gaul dan menjadi trendsenter.
Budaya-budaya luar negeri lebih mudah diserap oleh masyarakat Indonesia
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar